Gabungan (concursus) dalam hukum pidana

Posted: Februari 2, 2012 in PIDANA

berikut adalah makalah mengenai gabungan tindak pidana (concursus) dalam hukum pidana.

semoga bermanfaat :)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Adakalanya seseorang melakukan beberapa perbuatan sekaligus sehingga menimbulkan masalah tentang penerapannya. Kejadian yang sekaligus atau serentak tersebut disebut samenloop yang dalam bahasa Belanda juga disebut samenloop van strafbaar feit atau concursus. Perbarengan merupakan terjemahan dari samenloop atau concursus. Ada juga yang menerjemahkannya dengan gabungan. Dalam pembahasan kali ini yang menjadi sorotan adalah perbarengan dua atau lebih tindak pidana yang dipertanggungjawabkan kepada satu orang atau beberapa orang dalam rangka penyertaan. Tindak pidana-tindak pidana yang telah terjadi itu sesuai dengan yang dirumuskan dalam perundang-undangan. Sedangkan kejadiannya sendiri dapat merupakan hanya satu tindakan saja, dua/lebih tindakan atau beberapa tindakan secara berlanjut. Dalam hal dua/lebih tindakan tersebut masing-masing merupakan delik tersendiri, dipersyaratkan bahwa salah satu di antaranya belum pernah diadili.

Ajaran mengenai samenloop [1]ini merupakan salah satu ajaran yang tersulit di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, sehingga orang tidak akan dapat memahami apa yang sebenarnya dimaksud dengan samenloop van strafbaar feit itu sendiri, maupun permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam ajaran tersebut, apabila orang itu tidak mengikuti perkembangan paham-paham mengenai perkataan feit yang terdapat di dalam rumusan pasal-pasal yang mengatur masalah samenloop itu sendiri.

Perkembangan paham-paham mengenai perkataan feit yang terdapat di dalam rumusan pasal-pasal yang mengatur masalah samenloop itu sendiri, khususnya yang terdapat didalam rumusan pasal 63 ayat (1) KUHP, terjemahan perkataan feit di pasal ini dengan perkataan perbuatan menunjukkan bahwa team penerjemah Departemen Kehakiman R.I. (sekarang Departemen Hukum dan HAM) Secara resmi telah menafsirkan perkataan feit di dalam rumusan pasal 63 ayat (1) KUHP itu sebagai suatu perbuatan yang nyata, yakni suatu penafsiran yang oleh Hoge Raad (HR) sendiri telah ditinggalkan sejak lebih dari setengah abad yang lalu. Kiranya tim penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman itu juga tidak akan menerjemahkan perkataan feit di dalam rumusan pasal 63 ayat (1) KUHP itu dengan perkataan perbuatan, seandainya tim tersebut mengetahui bahwa sudah sejak setengah abad yang lalu terdapat keberatan-keberatan terhadap penggunaan perkataan perbuatan itu sendiri.

Sebelum kita membicarakan apa yang disebut samenloop van strafbare feiten itu sendiri, perlu diketahui bahwa orang hanya dapat berbicara mengenai adanya suatu samenloop van strafbare feiten, apabila di dalam suatu jangka waktu yang tertentu, seseorang telah melakukan lebih daripada satu tindak pidana dan di dalam jangka waktu tersebut orang yang bersangkutan belum pernah dijatuhi hukuman oleh pengadilan, karena salah satu dari tindakan-tindakan yang telah ia lakukan.

Apa yang disebut samenloop van strafbare feiten atau gabungan tindak-tindak pidana itu, oleh pembentuk undang-undang telah diatur di dalam Bab ke-VI dari Buku ke-1 KUHP atau tegasnya di dalam pasal 63 sampai dengan pasal 71 KUHP, yaitu berkenaan dengan pengaturan mengenai berat ringannya hukuman yang dapat dijatuhkan oleh seorang hakim terhadap seorang tertuduh yang telah melakukan lebih daripada satu tindak pidana, yang perkaranya telah diserahkan kepadanya untuk diadili secara bersama-sama.

Dalam suatu samenloop itu, hakim harus memperhatikan kenyataan-kenyataan apakah tertuduh itu hanya melakukan satu tindak pidana, atau ia telah melakukan lebih daripada satu tindak pidana. Prof. Simons berpendapat, bahwa apabila tertuduh itu hanya melakukan satu tindak pidana dan dengan melakukan tindakan tersebut, tindakannya itu ternyata telah memenuhi rumusan-rumusan dari beberapa ketentuan pidana, atau dengan perkataan lain apabila dengan melakukan satu tindak pidana itu, tertuduh ternyata telah melakukan beberapa tindak pidana, maka di situ terdapat apa yang disebut eendaadse samenloop atau concursus idealis ataupun apa yang oleh Prof. Van Hamel juga telah disebut sebagai samenloop van strafbepalingen atau gabungan ketentuan-ketentuan pidana.

Ukuran Pidana yang dapat dijatuhkan atas diri seseorang dalam tindak pidana Concursus.

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa perlunya studi kasus berupa suatu gabungan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang secara sadar maupun tidak sadar serta pembedaan yang sangat mendasar untuk mengetahui sebatas mana gabungan tindak pidana dapat ditafsirkan menjadi sebuah eendaadse samenloop ataukah meerdaadse samenloop.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari pembahasan diatas, penulis ingin menyampaikan beberapa inti permasalahan, antara lain:

1. Benarkah jenis perbuatan yang terjadi dalam contoh kasus adalah gabungan atau konkursus? Apakah alasannya?

2. bila betul itu merupakan gabungan, apa bentuk gabungan yang terjadi?

3. bagaimana sistem pemidanaan yang diberlakukan pada kasus tersebut?


BAB II

KASUS

  • Senin, 20 Agustus 1979. Edy Sampak dan Ojeng-Cece bin Rojai, keduanya berusia 44 tahun, berboncengan sepeda motor buatan Inggris 250 cc merek BSA keluaran tahun 1950. Nomor polisi F 2933 C. Di punggung Ojeng menempel sebuah ransel yang sama sekali tidak ia ketahui isinya. Ransel itu milik Edy Sampak.
  • Edy Sampak Berpangkat Sersan Mayor, bekerja di Ramil 0806 Karang Tengah, Kesatuan Skodim 0608 Cianjur, Jalan Raya Siliwangi Cianjur. BSA melaju dari rumah Edy Sampak di Kp. Karang Tengah Desa Nagrak Kec Cianjur Kota Cianjur pukul 07.00 pagi. Mereka menuju ke Kantor Pekasmil Dim 0607 Sukabumi. Perjalanan cukup memakan waktu. Mereka tiba sekitar pukul 11.00. Di sana Edy Sampak menghentikan sepeda motornya. Edy Sampak masuk ke ruangan dan mencari Sersan Mayor E Sutarjat.
  • Sayang, Serma E Sutarjat tak berada di sana. Dari seorang rekan kerjanya, Edy Sampak mendapat informasi Sersan Mayor E Sutarjat tengah menukarkan cek gaji bulanan ke Bank BNI 46 di Sukabumi. Edy Sampak dan Ojeng pun langsung meluncur ke Sukabumi untuk menemui Serma E Sutarjat. Edy Sampak sudah tak sabar menerima uang gajinya. Di Bank BNI 46 itu Edy Sampak bertemu dengan Serma E Sutarjat dan menyampaikan niatnya mengambil gaji.
  • Namun, Serma E Sutarjat keberatan memberikan uang gaji Edy Sampak. Pasalnya, seluruh uang gaji mesti dilaporkan ke atasan sebelum dibagikan. Cek gaji bulanan bernomor seri xxx-1 LL 122994 sebesar Rp 21.317.944,- itu rencananya akan diberikan kepada seluruh pegawai Ramil 080 Karang Tengah Kesatuan Skodim 0608 Cianjur.
  • Selepas dari Bank BNI 46, Serma E Sutarjat mampir ke Kantor Skodim 0607 Sukabumi/Pekasmil. Ojeng yang menemani Edy berada di luar tak jauh dari bank. Ia diberi uang seribu rupiah dan diminta membeli jerigen ukuran 5 liter. “Untuk bensin motor,” kata Edy Sampak.
  • Sementara itu, Edy Sampak mengambil tas miliknya yang sebelumnya dititipkan di sebuah toko di Jalan Raya Ciaul. Ia juga membeli dua buah pemantik api. Dalam tas tersebut Edy Sampak memasukan sebuah pisau, golok kecil, sangkur, botol minuman, sebuah pucuk pistol Cis 4,5 mm, dan jas hujan. Masih dalam ransel itu, ia juga menyimpan sepucuk senjata otomatis jenis Carel Gustaf, 200 butir peluru, dan dua magazine yang ia kemas rapi pada sebuah kotak kayu.
  • Tak lama berselang, Edy Sampak dan Ojeng memutar sepeda motornya dan mengarahkan ke Kantor Skodim 0607 Sukabumi/Pekasmil menyusul Serma E Sutarjat. Setiba di Kantor Skodim 0607, Edy langsung menemui Serma E Sutarjat. Di kantor Skodim 0607 Sukabumi itu Edy Sampak mendapat penjelasan kembali perihal penolakan memberikan uang gaji di Bank BNI 46 dari E Sutarjat. Namun, karena memaksa, Serma E Sutarjat pun memberikan uang gaji Edy Sampak.
  • Edy Sampak dan Ojeng meninggalkan sepeda motornya di Kantor Skodim 0607 Sukabumi/Pekasmil. Mereka ikut bergabung bersama Serma E Sutarjat dan rekannya, menumpang sebuah mobil minibus merek Mitsubishi Colt bernopol D 5791 G. Mobil minibus ini bukan inventaris Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Melainkan, mobil angkutan umum yang disewa dari Iding bin Arsa, 45 tahun. Iding bin Arsa ditemani kenek bernama Ujang Sugandi.
  • Colt ini kemudian membawa penumpang antara lain Serma E Sutarjat, Serma Edy Sampak, Serma Jujun, Karsip Daeng Rusmana, Koptu Sumpena, Ojeng, Aliun, dan dua orang lagi yang tak diketahui namanya. Edy Sampak duduk di bangku paling belakang sebelah kanan. Ojeng duduk di samping Edy Sampak. Di tengah diisi dua orang penumpang. Jok paling depan diisi oleh dua orang juga. Kendaraan pun penuh dan langsung tancap gas menuju Cianjur.
  • Sesampai di daerah Gekbrong –antara Sukabumi dan Cianjur– Edy Sampak tiba-tiba menyuruh sopir keluar dari jalan besar. Jalan desa yang menuju ke arah Perkebunan Tee Gedeh dan langsung menuju Kecamatan Cugenang. Kepada sopir dan penumpang lain, Edy Sampak mengutarakan hendak mengambil kambing untuk persiapan lebaran. Saat itu lebaran memang tinggal beberapa hari. Di daerah Kebon Peuteuy, Gekbrong, ia meminta sopir melambatkan laju mobil. Sang sopir dan penumpang lainnya menurut saja. Mereka sama sekali tidak menaruh curiga atas permintaan Edy Sampak.
  • Kemudian tiba – tiba terdengar bunyi suara tembakan yang keluar dan meledak dari senjata milik Edy Sampak. Edy Sampak tanpa basa-basi memutuskan mengeluarkan senjata api yang ia simpan di ranselnya, menembakkannya ke arah Karsip Jujun yang duduk persis berada di depan Edy Sampak. Jarak antara Edy Sampak dengan Karsip Jujun hanya sekitar 30 cm. Edy Sampak menembak dari arah belakang persis di sandaran jok Karsip Jujun.
  • Peluru juga diarahkan kepada Serma E Sutarjat dan membabat habis seluruh penumpang yang ada di dalam Colt. Dengan tenang Edy menghabisi seluruh penumpang kecuali Ojeng. Kendaraan melaju tak terarah tanpa kendali.
  • Kemudian Colt yang mereka naiki berhenti dan mesinnya mati ketika menabrak tumpukan pasir. Dekat sebuah kebun bambu dan semak-semak. Sang sopir Iding bin Arsa masih bisa meloncat keluar dari pintu mobil. Malang, Iding bin Arsa juga terkena peluru Edy Sampak.
  • Namun, ia masih sempat lari. Melihat Iding bin Arsa lari, Edy Sampak memintanya berhenti. Iding bin Arsa terus berlari sampai Edy Sampak menembakkan senjata apinya dari kejauhan. Dua buah peluru pun bersarang pada kaki dan punggung Iding. Ia tersungkur karena tidak kuat menahan panasnya peluru yang hinggap di punggungnya. Ia terjatuh dan tak sadarkan diri di sebuah parit. Namun, ia kembali sadar setelah mendengar samara-samar teriakan keneknya, Ujang Sugandi, dari kejauhan. Tidak hanya menembak hampir seluruh penumpang, Edy Sampak pun dengan kejam dan sadis membakar minibus Colt.

Putusan:

  • Persidangan Edy Sampak termasuk bersifat khusus. Pasalnya, pengadilan tak hanya mengadili seorang prajurit ABRI saja. Melainkan terdapat seorang sipil. Maka, majelis hakim yang mengadili kasus ini pun berubah.
  • Hakim ketua berasal dari hakim kalangan militer. Namun, kedua anggota majelis hakim lainya dipegang dari kalangan hakim sipil. Edy Sampak berada di tahanan Inrehab Cimahi sejak 28 Agustus 1979. Sementara, Ojeng berada di dalam tahanan sejak tanggal 25 Agustus 1979 di Rumah Tahanan Kebon Waru. Selama proses persidangan berlangsung tak sedikit keterangan saksi yang dipanggil oleh pengadilan meringankan dakwaan terhadap tersangka Serma Edy Sampak.
  • Dalam persidangan itu terdakwa Serma Edy Sampak dinyatakan bersalah secara komulatif melakukan perbuatan-perbuatan pidana kejahatan.

· Edy Sampak terbukti terlibat pembunuhan berencana sesuai dengan pasal 240 KUHP,

· pelaku pembunuhan yang diikuti, disertai, didahului dengan perbuatan lain sesuai dengan pasal 339 KUHP, percobaan pembunuhan yang diikuti, disertai, didahului perbuatan pidana lain sesuai pasal 53 junto 339 KHUP,

· pelaku pencurian dengan kekerasan berakibat luka berat atau matinya orang lain yang dilakukan oleh dua orang sesuai pasal 365 ayat 4 KUHP,

· pelaku menghancurkan, merusak, membikin tidak dapat dipakai lagi suatu barang, kepunyaan orang lain sesuai pasal 406 ayat 1 KUHP, dan

· pelaku bersama-sama tanpa hak menguasai, membawa, menyimpan, menyembunyikan, mempergunakan suatu senjata api sesuai pasal 1 ayat 1 UU 12 Tahun 1951, dan

· pelaku percobaan pembunuhan sesuai pasal 53 junto 338 KUHP. Majelis hakim dengan keras kemudian memberikan vonis hukuman mati.

· Ditambah dengan pidana tambahan dipecat dari dinas ABRI/TNI AD.

· Dicabut haknya untuk memperoleh tanda jasa/kehormatan yang diberikan oleh dan atas nama Pemerintahan/Negara Republik Indonesia.

· Dicabut haknya memasuki dinas ABRI.

· Untuk perkara Ojeng, Majelis Hakim menjatuhkan vonis hukuman penjara selama 12 tahun. Ia juga mesti membayar perkaranya sebesar Rp 2000,-. Sedangkan Bani bin Sahri, majelis hakim memberikan pidana berupa hukuman penjara selama 4 bulan 15 hari. Dan mesti membayar biaya perkara sebesar Rp 2000,-.

BAB III

LANDASAN TEORI

3.1 Pengertian Gabungan (Concursus)

Samenloop / concursus dapat diterjemahkan gabungan atau perbarengan. Dalam makalah ini akan digunakan istilah “gabungan”.[2] Gabungan tindak pidana yaitu apabila seseorang atau lebih melakukan satu perbuatan dan dengan melakukan satu perbuatan, ia melanggar beberapa peraturan pidana atau apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan itu belum dijatuhi putusan hakim atas diri orang tersebut dan terhadap beberapa pelanggaran dari beberapa peraturan pidana itu diadili sekaligus.

Dengan demikian maka syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan adanya gabungan adalah: Ada dua/ lebih tindak pidana dilakukan;

· Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang (atau dua orang dalam hal penyertaan);

· Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili; dan

· Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus.

3.2 Sistem Pemidanaan

Pada dasarnya teori gabungan tindak pidana dimaksudkan untuk menentukan pidana apa dan berapa ancaman maksimum pidana yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah melakukan lebih dari satu tindak pidana[3].

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenal 4 (empat) sistem atau stelsel pemidanaan, yaitu:[4]

1. Sistem Absorpsi

Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang masing-masing diancam dengan pidana yang berbeda, maka menurut sistem ini hanya dijatuhkan satu pidana saja, yaitu pidana yang terberat walaupun orang tersebut melakukan beberapa delik.

2. Sistem Kumulasi

Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut sistem ini tiap-tiap pidana yang diancamkan terhadap delik-delik yang dilakukan oleh orang itu semuanya dijatuhkan.

3. Sistem Absorpsi Diperberat

Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa jenis delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, menurut stelsel ini pada hakikatnya hanya dapat dijatuhkan 1 (satu) pidana saja yakni yang terberat, akan tetapi dalam hal ini diperberat dengan menambah 1/3 (sepertiga).

4. Sistem Kumulasi Terbatas

Apabila seeorang melakukan beberapa jenis perbuatan yang menimbulkan beberapa jenis delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut stelsel ini, semua pidana yang diancamkan terhadap masing-masing delik dijatuhkan semuanya. Akan tetapi, jumlah pidana itu harus dibatasi, yaitu jumlahnya tidak boleh melebihi dari pidana terberat ditambah 1/3 (sepertiga).

3.3 Bentuk-Bentuk Gabungan Tindak Pidana

Gabungan memiliki beberapa bentuk, yaitu:[5]

1. Gabungan dalam satu perbuatan (Eendaadse Samenloop/Concursus Idealis)

Eendaadse Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan satu perbuatan, tetapi dengan satu perbuatan itu ia melanggar beberapa peraturan pidana yang berarti ia telah melakukan beberapa tindak pidana. Hal ini diatur dalam pasal 63 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:

Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.

Di antara para sarjana terdapat perbedaan pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan satu tindakan. Sebelum tahun 1932, Hoge Raad barpendirian yang ternyata dalam putusannya, bahwa yang dimaksud dengan satu tindakan dalam pasal 63 ayat (1) KUHP[6] adalah tindakan nyata atau tindakan materiil.

Taverne bertolak pangkal dari pandangan hukum pidana bahwa tindakan itu terdiri dari dua/lebih tindakan yang terdiri sendiri yang mempunyai sifat yang berbeda yang tak ada kaitannya satu sama lain dapat dibayangkan keterpisahan masing-masing. Akibat dari pendirian Hoge Raad ini, makna dari pasal 63 ayat (1) menjadi sempit. Hanya dalam hal-hal terbatas masih apat dibayangkan kemanfaatan dari ketentuan pasal tersebut.

Pendirian Hoge Raad bersandar kepada sifat atau ciri yang terdapat pada tindakan tersebut, namun belum secara tegas dapat diketahui apa yang dimaksud dengan satu tindakan dan beberapa perbuatan. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam prakterknya Hoge Raad menyelesaikan perkara secara kasuistis.

Modderman mengatakan bahwa dilihat dari sudut badaniah tindakan itu hanyalah satu saja akan tetapi dari sudut rohani ia merupakan pluralitas (ganda). Sedangkan Pompe mengutarakan bahwa apabila seseorang melakukan satu tindakan pada suatu tempat dan saat, namun harus dipandang merupakan beberapa tindakan apabila tindakan itu mempunyai lebih dari satu tujuan atau cukupan.

Ketentuan dalam pasal 63 ayat (2) [7]sesuai dengan asas lex spesialis derogat lex general, yang artinya ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan yang umum. Yang dimaksud dengan ketentuan pidana khusus adalah jika pada tindak pidana khusus itu termuat atau tercakup semua unsur-unsur yang ada pada tindak pidana umum, akan tetapi padanya masih ada unsur lainnya atau suatu kekhususan. Pemidanaan dalam hal concursus idealis menggunakan stelsel absorpsi murni yaitu dengan salah satu pidana yang terberat.

2. Gabungan dalam beberapa perbuatan (Meerdaadse Samenloop/concursus realis)

Meerdaadse Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan tiap-tiap perbuatan tindak pidana sendiri-sendiri dan terhadap perbuatan-perbuatan tadi diadili sekaligus. Hal ini diatur dalam pasal 65, 66, 70 dan 70 bis KUHP. Menurut ketentuan yang termuat dalam KUHP, concursus realis dibedakan antara jenis tindak pidana yang dilakukan. Tindak pidana kejahatan termuat dalam pasal 65 dan 66 KUHP. Sedangkan tindak pidana pelanggaran termuat dalam pasal 70 dan 70 bis.

Pasal 65 KUHP[8] mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis dan sistem pemidanaan menggunakan sistem absorpsi diperberat. Pasal 66 KUHP mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis dan sistem pemidanaanya juga menggunakan absorpsi diperberat.

Perbedaan antara pasal 65 dan 66 KUHP terletak pada pidana pokok yang diancamkan terhadap kejahatan-kejahatan yang timbul karena perbuatan-perbuatannya itu yaitu apakah pidana pokok yang diancamkannya itu sejenis atau tidak. Sedangkan pasal 70 KUHP mengatur apabila seseorang melakukan beberapa pelanggaran atau apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan kejahatan dan pelanggaran.

Jika pasal 65 dan 66 menyebutkan tentang gabungan kejahatan dengan kejahatan, pasal 70 memberi ketentuan tentang gabungan kejahatan dengan pelanggaran atau pelanggaran dengan pelanggaran. Dalam hal ini maka kejahatannya dijatuhkan hukumannya sendiri, sedangkan bagi masing-masing pelanggarannya pun dikenakan hukuman sendiri-sendiri dengan pengertian bahwa jumlah semuanya dari hukuman kurungan yang dijatuhkan bagi pelanggaran-pelanggaran itu tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan dan mengenai hukuman kurungan pengganti denda tidak lebih dari delapan bulan. Pasal 70 bis menentukan kejahatan-kajahatan ringan dianggap sebagai pelanggaran. Bagi masing-masing kejahatan ringan tersebut harus dijatuhkan hukuman sendiri-sendiri dengan ketentuan bahwa jika dijatuhkan hukuman penjara maka jumlah semua hukuman tidak boleh lebih dari delapan bulan.

3. Perbuatan berlanjut (Voorgezette Handeling)[9]

Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan dan beberapa perbuatan itu merupakan tindak pidana sendriri. Tetapi di antara perbuatan itu ada yang hubungan sedemikian eratnya satu sama lain sehingga beberapa perbuatan itu harus dianggap sebagai satu peruatan lanjutan. Hal ini diatur dalam pasal 64 KUHP dan pemidanaannya menggunakan sistem absorpsi.

Apa yang dimaksud dengan perbuatan berlanjut? Terdapat beberapa pendapat mengenai perbuatan berlanjut tersebut. Ada sarjana yang memberikan pengertian bahwa perbuatan berlanjut adalah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan delik, tetapi beberapa perbuatan yang masing-masing delik itu seolah-olah digabungkan menjadi satu delik.

Sedangkan Simons mengatakan bahwa KUHP yang berlaku sekarang tidak mengenal vorgezette handeling sebagaimana diatur dalam pasal 64 KUHP yang merupakan bentuk gabungan dalam concursus realis. Hanya tentang pemidanaan pasal 64 KUHP menyimpang dari ketentuan pasal 65 KUHP dan 66 KUHP. Menurut pasal 65 KUHP dan 66 KUHP yang dijatuhkan adalah satu pidana yang terberat ditambah dengan sepetiganya. Sedangkan menurut pasal 64 KUHP yang dijatuhkan hanya satu pidana yang diperberat. Oleh karena itu, Simons menganggap pasal 64 KUHP sebagai pengecualian terhadap concursus realis/ meerdaadse samenloop.

Adapun ciri-ciri dari perbuatan berlanjut adalah:

a. Tindakan-tindakan yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu kehendak jahat;

b. Delik-delik yang terjadi itu sejenis; dan

c. Tenggang waktu antara terjdinya tindakan-tindakan tersebut tidak terlampau lama.

Persoalan mengenai sejauh mana cakupan dari satu kehendak jahat tersebut erat hubungannya dengan delik dolus/ culpa dan delik materil/ formil. Untuk delik dolus dalam hubungannya dengan delik materiil/ formal tidak ada persoalan mengenai cakupan dari satu kehendak jahat tersebut.


BAB IV

ANALISIS KASUS

Karena Edy Sampak melakukan lebih dari satu tindak pidana, yaitu pembunuhan, pencurian, pengrusakan, dan pemilikan senjata api ilegal, maka ini termasuk tindak pidana Gabungan. Selain daripada itu, perbuatan Edy Sampak juga telah memenuhi beberapa syarat Gabungan, yaitu:

· Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang (atau dua orang dalam hal penyertaan). Dalam hal ini, Edy Sampak melakukan lebih dari satu tindak pidana.

· Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili. Syarat ini juga telah terpenuhi, karena kesemua tindak pidana yang dilakukan belum ada yang dipidana.

· Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus. Ini juga sesuai dengan persidangan Edy Sampak yang mengadili sekaligus semua perbuatannya.

Bagaimana dengan sistem pemidanaannya? Sistem pemidanaan Edy Sampak, seperti yang telah disebutkan di bab II, menggunakan sistem kumulasi, yaitu tiap-tiap pidana yang diancamkan terhadap delik-delik yang dilakukan oleh orang itu semuanya dijatuhkan. Sistem kumulasi dipergunakan karena Edy Sampak melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang diancam dengan pidana sendiri-sendiri.

Selanjutnya bentuk gabungan tindak pidana apa yang terjadi di kasus ini? Karena Edy Sampak melakukan beberapa perbuatan yang semuanya terjadi secara berurutan, maka gabungan macam ini disebut gabungan dalam beberapa perbuatan (Meerdaadse Samenloop/concursus realis). Meerdaadse Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan tiap-tiap perbuatan tindak pidana sendiri-sendiri dan terhadap perbuatan-perbuatan tadi diadili sekaligus. Ini sesuai dengan apa yang terjadi pada Edy Sampak.


BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah diuraikan dihubungkan dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan, maka kami dapat menarik kesimpulan bahwa:

1. Perbuatan yang dilakukan yang terdapat dalam pasal 65-66 KUHP tidak dapat hanya diartikan sebagai perbuatan materiil atau fisik saja. Akan tetapi, perbuatan-perbuatan yang terjadi harus dilihat dalam suatu kompleks perbuatan dan juga akibat-akibat yang terjadi.

2. Gabungan tindak pidana yaitu apabila seseorang atau lebih melakukan satu perbuatan dan dengan melakukan satu perbuatan, ia melanggar beberapa peraturan pidana atau apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan itu belum dijatuhi putusan hakim atas diri orang tersebut dan terhadap beberapa pelanggaran dari beberapa peraturan pidana itu diadili sekaligus.

3. ada empat stelsel pemidanaan dalam gabungan, dan yang dipergunakan dalam persidangan kasus Edy Sampak adalah sistem kumulatif.

4. Bentuk gabungan yang terjadi pada kasus Edy Sampak adalah gabungan dari beberapa perbuatan atau konkursus realis.

5.2 Saran

Kelompok kami menyarankan penegak hukum agar selalu mempertimbangkan dan menganalisis suatu permasalahan dengan menyeluruh sehingga mendapatkan suatu penafsiran yang tidak salah, terutama Hakim. Selain itu, suatu pelatihan mengenai teori-teori hukum pidana diperlukan oleh para penegak hukum, agar kesalahan dalam praktek hukum bisa berkurang. Pemahaman ataupun konsep yang salah akan menimbulkan permasalahan yang berlarut-larut dan kontroversial. Dengan demikian, teori-teori gabungan tindak pidana hendaknya tidak ditafsirkan secara leterlijk saja yaitu yang berdasar pada undang-undang, tetapi juga sumber hukum tidak terbatas dari perundang-undangan, akan tetapi meliputi juga doktrin, yurisprudensi hakim dan lain-lain.


[1] PAF Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Bandung, PT Sinar Baru, 1987, hlm. 65

[2] Utrecht, E., Rangkaian Sari Kuliah: Hukum Pidana II, Bandung, PT. Penerbitan Universitas, 1958, hlm. 17

[3] Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Jakarta : Bina Aksara, 1987, hlm. 50

[5] Ibid, hlm. 139-200

[6] R. Soesilo, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana serta Komentar – Komentarnja Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor, Politeia, 1973, hlm. 68-69

[7] Ibid

[8] Ibid, hlm. 71

[9] Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2002.

Menyuruh Melakukan

Posted: Februari 11, 2012 in PIDANA

Kaidah hukum:

Dalam Ilmu Hukum Pidana “Menyuruh Lakukan” mengandung arti, bahwa si pelaku langsung tidak dapat dipertanggung jawabkan secara pidana. Padahal dalam perkara ini keadaannya tidak demikian. Dengan melihat segala bukti sehubungan dengan perbuatan yg dilakukan oleh terdakwa adalah suatu perbuatan yang langsung dilakukan oleh terdakwa . Jadi terdakwa adalah pelaku langsung dan bukan menyuruh lakukan seperti pendapat judex facti.

Yurisprudensi Mahkamah Agung

No. 1804 K/Pid/1988

Terbit : 1991

Hal. 199

Unsur Melawan Hukum

Posted: Februari 11, 2012 in PIDANA

Kaidah hukum: Bahwa unsur melawan hukum tidaklah dapat diartikan dalam pengertian sempit melainkan harus diartikan dalam pengertian yang lebih luas, termasuk didalamnya ketentuan yang tidak tertulis maupun kebiasaan yang seharusnya dipatuhi karena terdakwa telah jelas melanggar ketentuan prosedur pemberian overdraft, sehingga unsur melawan hukum haruslah dinyatakan terbukti. Bahwa Terdakwa sebagai pembantu tidak dapat dinyatakan terbukti bersalah hanya berdasarkan perkiraan, sebab unsur kesengajaan dalam memberi bantuan sebagaimana dalam pasal 56 ayat (1) KUHP tidak dapat hanya disimpulkan dari keharusan terdakwa menduga akan terjadinya delik yang dilakukan oleh pelaku melainkan harus secara nyata disamping dirasakan oleh yang dibantu adanya bantuan tersebut, dengan bantuan tersebut benar-benar dikehendaki oleh Terdakwa tidak hanya sekedar karena culpa/lalai. Yuridprudensi Mahkamah Agung No. 71 K/Pid/1993 Terbit : 1996 Hal. 429

makalah mengenai penyertaan dalam hukum pidana, beserta analisis kasusnya.

semoga bermanfaat :)

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dewasa ini banyak sekali terdapat kasus dimana pelakunya lebih dari satu orang, yang terjadi di masyarakat kita. Contohnya dalam kasus perampokan. Dalam beracara, hakim menjatuhkan pidana atas suatu perkara. Hakim mendasarkan putusannya selain pada undang – undang juga mempertimbangkan tuntutan dari jaksa penuntut umum. Dalam makalah ini kami menganalisis apakah putusan hakim tersebut sudah sesuai dengan apa yang tertera dalam undang – undang atau tidak.

Penyertaan atau dalam bahasa Belanda Deelneming di dalam hukum Pidana Deelneming dipermasalahkan karena berdasarkan kenyataan sering suatu delik dilakukan bersama oeleh beberapa orang,jika hanya satu orang yang melakukan delik,pelakunya disebut Alleen dader.

Prof.Satochid Kartanegara mengartikan Deelneming apabila dalam satu delik tersangkut beberapa orang atau lebih dari satu orang. Menurut doktrin, Deelneming menurut sifatnya terdiri atas:

a.Deelneming yang berdiri sendiri,yakni pertanggung jawaban dari setiap peserta dihargaisendiri-sendiri

b.Deelneming yang tidak berdiri sendiri,yakni pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantunggkan dari perbuatan peserta yang lain.

Maka dalam makalah ini kami akan membahas sebuah kasus Pidana yang termasuk Deelneming atau Penyertaan

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka pertanyaan penelitian yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah contoh kasus penyertaan?

2. Pasal apa sajakah yang akan dikenakan bila terjadi perampokan yang melibatkan lebih dari satu orang?

1.3. Teori Penulisan

Teori yang kami gunakan dalam makalah ini adalah teori penyertaan yang terumus dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana pasal 55 dan 56. kami juga mengambil teori – teori ilmu hukum pidana yang dikemukakan oleh Prof. Lamintang dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia.

1.4. Kerangka Pemikiran

Dalam menganalisis kasus mengenai perampokan yang dilakukan oleh lebih dari satu orang pelaku, kami menghubungkan teori dan fakta – fakta yang terjadi. Adanya korelasi diantara kasus perampokan tersebut dengan teori penyertaan yang kami pelajari menjadi dasar dari kerangka pemikiran kami dalam menulis makalah ini.

1.5 Metode Penulisan

Metode penulisan yang dipergunakan dalam makalah ini adalah studi kasus, yaitu karya tulis ilmiah yang disusun untuk memberikan tangapan terhadap suatu putusan pengadilan atas suatu kasus hukum tertentu ( nasional , internasional ) yang telah memiliki kekuatan hukum tetap atau putusan lembaga ajudikasi lain.

Kasus yang kami angkat telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht), yaitu telah diputus oleh hakim di pengadilan negeri.

1.6. Kesimpulan Latar Belakang

Kami akan menganalisis putusan hakim atas suatu perkara penyertaan, dan apakah putusan tersebut sesuai atau tidak dengan undang – undang hukum pidana yang berlaku di Indonesia.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian deelneming atau keturutsertaan (penyertaan)

Masalah mengenai penyertaan diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP. Pasal 55 KUHP berbunyi [1]:

(1) “Dihukum sebai pelaku-pelaku dari suatu tindak pidana yaitu:

1. Mereka yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan.

2. Mereka yang dengan pemberian-pemberian, janji-janji, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau keterpandangan, dengan kekerasan, ancaman atau dengan menimbulkan kesalahpahaman atau dengan memberikan kesempatan, sarana-sarana atau keterangan-keterangan, dengan sengaja telah menggerakan orang lain untuk melakuakn tindak pidana yang bersangkutan.”

(2) Mengenai mereka yang disebutkan terakhir ini yang dapat dipertanggungjawabkan kepada mereka itu hanyalah tindakan-tindakan yang dengan sengaja telah mereka gerakkan untuk dilakukan oleh orang lain, berikut akibat-akibatnya.

Sedangkan ketentuan pidana seperti yang telah diatur dallan Pasal 56 KUHP adalah sebagai berikut:

“Dihukum sebagai pembantu-pembantu didalam suatu kejahatan, yaitu :

1. Mereka yang dengan sengaja telah memberikan bantuan dalam melakukan kejahatan tersebut.

2. Mereka yang dengan sengaja telah memberikan kesempatan, sarana-saran atau keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan tersebut.”

Dalam pasal 55 dan 56 KUHP ini banyak dijumpai beberapa perkataan seperti dader (pelaku), plegen (melakukan), doen plegen (menyuruh melakukan), medeplegen (turut melakukan) dan perkataan lainnya.

Perkataan dader itu berasal dari pokok perkataan daad, yang di dalam bahasa Belanda juga mempunyai arti yang sama dengan perkataan het doen dan handelling, yang dalam bahasa Indonesia juga mempunyai arti sebagai hal melakukan atau sebgai tindakan.

Orang yang melakukan suatu daad itu disebut sebgai seorang dader, dan orang yang melakukan suatu tindakan itu dalam bahasa Indonesia lazim disebut sebagai seorang pelaku.

Dalam ilmu pengetahuan pidana, tidaklah lazim orang mengatakan, bahwa pelaku itu telah membuat suatu tindak pidana, atau bahwa seorang pembuat itu telah membuat suatu tindak pidana, akan tetapi lazim dikatakan orang adalah, bahwa seoang pelaku itu telah melakukan suatu tindak pidana.[2]

Dalam delik-delik formal yakni delik-delik yang dapat dianggap telah selesai dilakukan oleh pelakunya, yaitu setelah pelakunya itu melakukan suatu tindakan yang dilarang oleh undang-undang ataupun segera setelah pelaku tersebut tidak melakukan sesuatu yang diwajibkan oleh undang-undang, untuk memastikan siapa yang harus dipandang sebagai seorang dader itu, memang tidak sulit. Oleh karena itu, van ECK mengatakan bahwa orang dapat memastikan siapa yang harus dipandang sebagai seorang pelaku dengan membaca suatu rumusan delik.[3]

Terdapat dua pendapat yang berbeda mengenai siapa yang harus dipandang sebagai seorang dader atau sebagai seorang pelaku di dalam suatu delik material, oleh karena pendapat yang satu itu telah mendasarkan pandangannya pada apa yang disebut aequivalentieleer, sedangkan pendapat lainnya lagi telah mendasarkan pandangannya pada apa yang disebut adaequate causaliteitsleer.

Seperti yang telah diketahui, didalam apa yang di sebut aequivalentieleer itu, orang tidak membuat pebedaan antara apa yang disenut “voor waarden voor een gevolg” atau “syarat-syarat untuk dapat timbulnya suatu akibat” itu dengan apa yang disebut “oorzaak van een gevolg” atau “penyebab dari suatu akibat”. Para penganut ajaran ini berpendapat, bahwa setiap syarat yang memungkinkan timbulnya suatu akibat itu dapat pula dipansang sebagai penyebab dari timbulnya suatu akibat.

Apabila kini seseorang telah menyuruh orang lain membunuh seseorang lawannya dengan menggunakan sebilah pisau yang menurut orang yang telah menyuruh membunuh itu, katanya dapat dipinjam dari seorang yang lain, dan kemusian ternyata bahwa orang yang telah disuruh membunuh itu melaksanakan pembunuhan terhadap lawan dari orang yang telah menyuruhnya melakukan pembunuhan. Maka menurut penganut aequivalentieleer, orang yang menyuruh membunuh dan orang yang telah meminjamkan pisau untuk membunuh itu haruslah juga dipandang sebagai pelaku pembunuhan yang terjadi.

Dengan demikian, maka mereka yang menyuruh (doen plegen), turut melakukan (medeplegen), yang menggerakkan orang lain (uitlokken) ataupun yang memberikan bantuannya (medeplichtige) untuk melakukan suatu delik material itu, menurut para penganut dari yang disebut aequivalentieleer itu haruslah pula dipandang sebagai pelaku-pelaku delik material yang secara langsung telah dilakukan oleh orang yang telah disuruh.

Sedangkan adaequate causaliteitsleer itu, orang berpendapat bahwa yang dapat dipandang sebagai penyebab suatu akibat hanyalah tindakan-tindakan yang secara adekuatatau yang secara tepat/wajar/layak dapat dipandang sebgai tindakan yang dapat menimbulkan akibat.

Dan orang yang tindakannya dapat dipandang sebagai dapat menimbulkan suatu akibat seperti itu sajalah, yang didalam adaequate causaliteitsleer dapat dipandang sebagai seorang dader/pelaku tindak pidana material. Sedang tindakan yang tidsak memenuhi syarat seperti itu, doen plegen/menyuruh melakukan, uitlokken/menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu dan medeplicktigheid, semuanya merupakan bentuk-bentuk deelneming dan bukan merupakan daderschap.

Profesor SIMONS telah merumuskan pengertian mengenai dader itu sebagai berikut: “Pelaku suatu tindak pidana itu adalah orang yang melakukan tindak pidana yang besangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu ketidaksengajaan seperti yang disyaratkan oleh undang-undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang atau telah m,elakukan tindakan yang terlarang atau mengalpakan tindakan yang diwajibkan oleh undang-undang, atau dengan perkataan lain ia adalah orang yang memenuhi semua unsur suatu delik seperti yang telah ditentukan dalam undang-undang, baik itu merupakan unsur subjektif maupun unsur subjektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri atau timbul karena digerakkan oleha pihak ketiga”.

Menurut Prof. POMPE: “Yang harus dipandang sebagai pelaku itu adalah semua orang yang disebutkan dalasm pasal 55 KUHP. Hal mana telah dikuatkan oleh memori penjelasan dimana telah dikatakana bahwa semua orang yang telah disebutkan dalam pasal 55 KUHP itu adalah pelaku”.

2.2 Bentuk-bentuk DEELNEMING

Bentuk-bentuk deelneming atau keturutsertaan yang ada menurut ketentuan-ketentuan pidana dalam pasal-pasal 55 dan 56 KUHP itu adalah:

a. Doen plegen atau menyuruh melakukan atau yang didalam doktrin juga sering disebut sebagai middellijk daderschap;

b. Medeplegen atau turut melakukan ataupun yang didalam doktrin juga sering disebut sebagai mededaderschap

c. Uitlokking atau menggerakkan orang lain dan

d. Medeplichtigheid atau pembantu

Ad.a

Di dalam ilmu hukum pidana, orang yang menyuruh orang lain melakukan suatu tindak pidana itu biasanya disebut sebagai orang middellijk dader atau seorang mettelbare tater, yang artinya seorang pelaku tidak langsung. Ia disebut pelaku tidak langsung karena ia memang secara tidak langsung melakukan sendiri tindak pidana, malinkan dengan perantara orang lain.

Menurut ketentuan pidana di dalam pasal 55 KUHP, seorang middelijke dader atau seorang pelaku tidak langsung itu dapat dijatuhi hukuman yang sama beratnya dengan hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelakunya sendiri, dan dalam hal ini yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelaku materialnya itu sendiri.

Oleh karena dalam bentuk deelneming doen plegen ini selalu terdapat seorang middelijke dader, maka bentuk deelneming ini juga sering disebut sebagai suatu middelijke daderschap.

Untuk adanya suatu doen plegen seperti yang dimaksudkan di dalam pasal 55 ayat 1 angka 1 KUHP itu, orang yang disuruh melakukan itu haruslah memenuhi beberapa syarat tertentu yaitu:

1. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu adalah seseorang yang ontoerekeningvatbaar seperti yang dimaksudkan didalam pasal 44 KUHP

2. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai suatu dwaling atau suatu kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari tindak pidana yang bersangkutan

3. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindakpidana itu sama sekali tidak mempunyai unsur schuld, baik dolus maupun culpa, ataupun apabila orang tersebut tidak memenuhi unsur opzet seperti yang tela disyaratkan oleh undang-undang bagi tindak pidana tersebut

4. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu memenuhi unsur oogmerk, padahal unsur tersebut telah disyaratkan didalam rumusan undang-undang mengenai tindak pidana tersebut diatas

5. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu telah melakukannya dibawah pengaruh suatu overmacht atau dibawah pengaruh suatu keadaan yang memaksa, dan terhadap paksaan mana orang tersebut tidak mampu memberikan suatu perlawanan

6. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan itikad baik telah melaksanakan suatu perintah jabatan, padahal perintah jabatan tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak berwenang memberikan perintah semacam itu

7. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak mempunyai suatu hoedanigheid atau suatu sifat tertentu, seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang, yakni sebagai suatu sifat yang harus dimiliki oleh pelakunya sendiri.

Untuk adanya suatu doen plegen itu adalah tidak perlu, bahwa orang yang telah menyuruh melakukan itu harus secara tegas memberikan perintahnya kepada orang yang telah disuruhnya melakukan sesuatu

Untuk adanya suatu doen plegen itu adalah juga tidak perlu, bahwa suruhan untuk melakukan suatu tindak pidana itu harus diberikan secara langsung untuk middelijke dader kepada orang materieele dader. Melainkan ia dapat juga diberikan dengan perantaraan orang lain.

Ad.b

Medeplegen disamping merupakan suatu bentuk deelneming, maka ia juga merupakan suatu bentuk daderschap. Apabila seseorang itu melakukan suatu tindak pidana, maka biasanya ia disebut sebagai seorang dader atau seorang pelaku. Apabila beberapa orang yang secara bersama-sama melakukan suatu tindak pidana, maka setiap peserra didalam tindak pidana itu dipandang sebagai seorang mededader dari peserta atau peserta lainnya.

Misalnya tiga orang secara bersama-sama telah melakukan pelanggaran dengan bersepeda secara berjejer diatas jalan umum, yang oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan diancam dengan hukuman.

Menurut Prof. Lamintang, hakim tidak perlu menyebutkan secara tegas bentuk-bentuk keturutsertaan yang telah dilakukan oleh seorang tertuduh, oleh karena pencantuman dari peristiwa yang sebenarnya telah terjadi itu sendiri sebenarnya telah menunjukkan bentuk ketrutsertaan yang dilakukan oleh masing-masing peserta didalam suatu tindak pidana yang telah mereka lakukan.[4]

Menurut van Hamel, suatu medeplegen itu hanya dapat dianggap sebagai ada, yaitu apabila tindakan tiap-tiap peserta didalam suatu tindak pidana dapat dianggap sebagai telah menghasilkan suatu dadrschap secara sempurna.

Menurut Prof. Van Hattum, perbuatan medepelegen didalam pasal 55 KUHP itu haruslah diartikan sebagai suatu opzettelijk medeplegen atau suatu kesengajaan untuk turut melakukan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.

Ini berarti bahwa suatu kesengajaan untuk turut melakukan suatu culpoos delict itu dapat dihukum dan sebaliknya suatu ketidaksengajaan turut melakukan sesuatu opzetettelijk atau suatu culpos delict itu menjadi tidak dapat dihukum.

Ini berarti bahwa menurut Prof. Van Hattum opzet seorang medeplegen itu harus ditujukan kepada :

a. Maksud untuk bekerjasama dengan orang lain dalam melakukan suatu tindak pidana dan

b. Dipenuhinya semua unsur dari tindak pidana tersebut yang diliputi oleh unsur opzet yang harus dipenuhi oleh pelakunya sendiri, yakni sesuai dengan yang disyaratkan dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan.

Menurut Prof. Legemeijer, baik orang yang mempunyai opzet untuk membunuh koraban, maupun orang yang turut melakukan dengan maksud semata-mata menganiaya koraban itu kedua-duanya harus dipersalahkan telah turut melakukan suatu penganiayaan berat yang menyebabkan matinya oranglain.

Sebagai alasan telah dikemukakannya bahwa bentuk-bentuk daderschap yang disebutkan dalam pasal 55 KUHP itu harus ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga bentuk-bentuk daderschap tersebut harus disamakan dengan plegen.

Menurut Prof. Van Hattum, untuk adanya suatu medeplegen itu tidak diperlkan adanya suatu kesamaan opzet pada masing-masing peserta kejahatan.

Perbedaan medeplegen dengan medeplichtigheid disebutkan dalam Memorie van toechlichting : “Yang membedakan seorang yang turut melakukan dari seorang yang membantu melakukan itu adalah, bahwa orang yang disebutkan pertama itu secara langsung telah ikut mengambil bagian dalam pelaksanaan suatu tindak pidana yang telah diancam dengan suatu hukuman oleh undang-undang, atau telah secara langsung turut melakukan suatu perbuatan atau turut melakukan perbuatan untuk menyelesaikan tindak pidana yang bersangkutan; sedang orang yang disebutkan terakhir itu hanyalah memberikan bantuan untuk melakukan perbuatan”.

Kedua bentuk ini mempunyai akibat yang berbeda-beda, yaitu dihubungkan dengan jenis delik yang dapat menjadi objek dari kedua bentuk deelneming tersebut. Pada medeplegen yang dapat dihukum adalah turut melakukan baik kejahatan maupun pelanggaran, sedang pada medeplichtigheid itu yang dapat dihukum hanyalah membantumelakukan kejahatan saja. Oleh karena menurut pasal 60 KUHP itu, perbuatan membantu melakukan pelanggaran dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang tidak dapat dihukum.

Dewasa ini sudah tidak lagi menjadi persoalan, apakah orang yang tidak mempunyai suatu “persoonlijke hoedanigheid” atau suatu “sifat pribadi” itu dapat turut melakukan suatu Kwaliteitsdelict atau tidak, oleh karena menurut paham yang terbaru, seseorang yang tidak mempunyai kualitas tertentu yang oleh undang-undang telah disyaratkan harus dimiliki oleh pelakunya itu, dapat saja turut melakukan apa yang disebut kwaliteits delicten, hanya saja dengan satu syarat, yaitu bahwa mereka itu mengetahui bahwa rekan pesertanya didalam melakukan suatu kwaliteitsdelict itu memiliki kualitas seperti itu.

Bagi suatu medeplegen, seperti halnya dengan suatu poging, diperlukan adanya suatu begin van uitvoering atau suatu permulaan pelaksanaan, walaupun undang-undang sendiri telah mensyaratkan hal tersebut secara tegas.

Ad. c

Uitlokking atau mereka yang menggerakkan untuk melakukan suatu tindakan dengan daya – upaya tertentu, adalah bentuk penyertaan penggerakkan yang inisiatif berada pada penggerak. Dengan perkataan lain, suatu tindak pidana tidak akan terjadi bila inisiatif tidak ada pada penggerak. Karenanya penggerak harus dianggap sebagai petindak dan harus dipidana sepadan dengan pelaku yang secara fisik menggerakkan. Tidak menjadi persoalan apakah pelaku yang digerakkan itu sudah atau belum mempunyai kesediaan tertentu sebelumnya untuk melakukan tindak pidana.[5]

 

 

 

 

Syarat – syarat dalam bentuk penyertaan penggerak:

 

1. Kesengajaan penggerak ditujukan agar suatu tindakan tertentu dilakukan oleh pelaku yang digerakkan.

Tujuan penggerakan itu adalah terwujudnya suatu tindak pidana tertentu. Ini berarti apabila yang dilakukan oleh pelaku yang digerakkan adalah tindak pidana lain, maka penggerak bukan merupakan petindak. Harus ada hubungan kausal antara kesengajaan dengan tindak pidana yang terjadi.

Menurut undang – undang secara harafiah tidak ada pengaruh dari kesengajaan yang ada pada penggerak, selama orang yang digerakkan tidak melakukan tindakan yang digerakkan atau selama tindakannya hanya sampai pada persiapan-pelaksanaan. Kesengajaan penggerak mempunyai pengaruh melalui pasal 163 bis hanya dalam hal tindakan yang digerakkan merupakan kejahatan. Bilamana tindakan yang digerakkan itu adalah pelanggaran, maka penggerak tidak dapat dipidana.

 

2. Daya upaya untuk menggerakkan adalah tertentu sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang.

Daya-upaya untuk menggerakkan adalah tertentu sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang yaitu suatu pemberian, suatu perjanjian, penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan pemberian kesempatan, sarana atau keterangan.

a) Pemberian dan perjanjian, dirumuskan tanpa memberikan suatu pembatasan. Pengertiannya menjadi luas yaitu dapat berbentuk uang atau benda, bahkan di luar bentuk uang atau benda seperti misalnya jabatan, kedudukan atau lebih luas lagi yaitu suatu janji yang akan membantu si tergerak baik secara material maupun secara moril untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dan lain sebagainya.

b) Penyalahgunaan kekuasaan, bukan saja terbatas pada kekuasaan yang ada padanya karena jabatan, tetapi juga meliputi kekuasaan yang dimiliki oleh penggerak secara langsung terhadap si tergerak, seperti hubungan kekeluargaan, pekerjaan, pendidikan, kepercayaan, dan sebagainya. Ini harus dibedakan dengan perintah jabatan yang termaksud pada pasal 52 KUHP. jika pada perintah jabatan perbuatan tersebut termasuk wewenang dari penguasa, maka pada penyalahgunaan kekuasaan tidak dipersyaratkan bahwa perintah itu termasuk tindakan yang benar-benar diharuskan dalam rangka kekuasaan yang disalahgunakan itu.

c) Penyalahgunaan martabat, merupakan suatu kekhususan di Indonesia yang ditambah dalam KUHP yang di dalam W.v.S tidak ada. Contohnya adalah kepala suku yang dipatuhi karena disegani.

d) Kekerasan, di sini harus sedemikian ringan sehingga tidak merupakan suatu alasan untuk meniadakan unsur kesalahan/kesengajaan dari si tergerak (pasal 48 daya paksa) yang mengakibatkan tidak dipidananya si tergerak. Batas yang tegas antara kekerasan yang dimaksud di pasal 48 dan menurut pasal 55 agak sukar ditentukan, karena undang – undang juga tidak menentukan. Perbatasan ini lebih diserahkan kepada penafsiran, yang sedemikian ringan sehingga menurut perhitungan layak, si tergerak mampu mengelak atau menolak untuk melakukan tindak pidana yang digerakkan. Misal, seorang wanita mendorong-dorong pacarnya untuk memukul bekas tunangannya yang pernah menyakiti hatinya.

e) Ancaman, tidak terbatas pada ancaman kekerasan seperti di atas, tetapi meluas juga sampai pada ancaman penghinaan, ancaman pembukaan rahasia pribadi, ancaman akan memecat atau menyisihkan dari suatu pergaulan, ancaman akan mengurangi hak/kewenangan tertentu, dan lain sebagainya.

f) Penyesatan, ada juga yang menyebutnya tipu-daya, tetapi agar tidak disamakan dengan penipuan dan kejahatan tipu-daya maka lebih baik disebut penyesatan. Yang dimaksud penyesatan ialah agar supaya seseorang tergerak hatinya untuk cenderung melakukan suatu tindakan sebagaimana yang digerakkan oleh penggerak. Unsur kesengajaan harus ada pada orang yang digerakkan. Contohnya A bilang pada B bahwa C telah menjelekkan nama B, yang sesungguhnya tidak benar, karenanya B jadi marah dan memukul C. Akibat dari penyesatan adalah untuk menimbulkan ketegangan dalam hati orang lain yang dapat berupa iri hati, pembangkitan dendam terpendam, kebencian, amarah dan sebagainya sehingga ia cenderung untuk melakukan suatu tindakan tetapi dalam batas-batas bahwa ia sesungguhnya masih dapat mengendalikan diri sendiri.

g) Pemberian kesempatan, sarana atau ketenangan, adalah merupakan cara untuk menggerakkan seseorang yang ketentuannya baru ditambah tahun 1925 dalam KUHP. Dalam pasal 56 ke-2 yang berbunyi ”mereka yang sengaja memberikan kesempatan, saran, atau keterangan untuk melakukan kejahatan”, kadang agak sulit dibedakan dengan pasal 55.

Contoh: A memberi kesempatan (sarana/keterangan) kepada B, kemudian B melakukan suatu tindak pidana, maka sehubungan dengan pasal 55 dan 56 tersebut perbedaannya terletak pada:

· Jika pada A, keinginan atau kehendak untuk melakukan suatu tindak pidana tertentu sudah ada sejak pertama kali, sedangkan pada B baru ada setelah ia digerakkan dengan pemberian kesempatan (sarana/keterangan) dan lalu b melakukan tindak pidana, maka kita berbicara mengenai bentuk penyertaan penggerak (pasal 55). Dalam hal ini A adalah penggerak dan B yang digerakkan. Tetapi jika pada B sejak semula sudah ada kehendak untuk melakukan suatu tindak pidana tertentu dan ia minta kesempatan dan sebagainya dari A, di mana A sengaja memberikannya dan diketahui bahwa kesempatan itu diperlukan oleh B untuk melakukan suatu pidana tertentu, maka kita berbicara mengenai bentuk penyertaan pembantuan (pasal 56). Dalam hal ini A adalah pembantu dan B petindak/pelaku.

· Dalam kasus tersebut di atas, apakah B sebagai tergerak atau sebagai petindak (pelaku) ancaman pidananya adalah sama, yaitu dipidana (sama) sebagai petindak (dader), tetapi bagi A tidak demikian, karena dalam hal bentuk penyertaan penggerakan ia dipidana sebagai petindak, tetapi dalam hal bentuk penyertaan pembantuan ia dipidana sebagai pembantu – petindak yang ancaman pidana maksimumnya dikurangi dengan sepertiganya.

 

3. Adanya orang yang digerakkan, dan telah melakukan suatu tindakan karena daya-upaya tersebut.

Dalam penyertaan pergerakan harus selalu ada orang yang digerakkan baik langsung maupun tidak langsung. Hubungan antara penggerak dengan orang lain itu tidak harus selalu langsung. Misalnya begini, A menggerakkan B dan kemudian pada waktu dan tempat yang terpisah B bersama – sama C melakukan tindakan yang dikehendaki oleh A. Dalam hal ini A tetap dipertanggungjawabkan sebagai penggerak dari B maupun C. C dianggap telah turut tergerak melakukan tindakan tersebut karena daya upaya A.

4. pelaku yang digerakkan harus telah melakukan tindak pidana yang digerakkan atau percobaan untuk tindak pidana tersebut.

Hubungan kausal antara daya-upaya yang digunakan dan tindak pidana yang dilakukan harus ada. Artinya justru si tergerak itu tergerak hatinya untuk melakukan tindak pidana adalah karena daya – upaya dari penggerak. Tindak pidana yang dikehendaki oleh penggerak harus benar – benar terjadi. Seandainya tindakan tergerak hanya sampai pada suatu tingkat percobaan yang dapat dihukum saja dari tindak pidana yang dikehendaki penggerak, maka penggerak sudah dapat dipidana menurut pasal 55 ayat (2).

Ad.d

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56 KUHP, pembantuan ada 2 (dua) jenis, yaitu :

· Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ini mirip dengan turut serta (medeplegen), namun perbedaannya terletak pada :

1. Pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu atau menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan.

2. Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa diisyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan atau berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri.

3. Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana.

4. Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi 1/3 (sepertiga), sedangkan turut serta dipidana sama.

· Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Pembantuan dalam rumusan ini mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya pada niat atau kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiel sudah ada sejak semula atau tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan oleh si penganjur.

Berbeda dengan pertanggungjawaban pembuat yang semuanya dipidana sama dengan pelaku, pembantu dipidana lebih ringan dari pada pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang dilakukan (Pasal 57 ayat (1) KUHP). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15 tahun. Namun ada beberapa catatan pengecualian :

1. Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, yaitu pada kasus tindak pidana :

· Membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 ayat (4) KUHP) dengan cara memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan,

· Membantu menggelapkan uang atau surat oleh pejabat (Pasal 415 KUHP),

· Meniadakan surat-surat penting (Pasal 417 KUHP).

2. Pembantu dipidana lebih berat dari pada pembuat, yaitu dalam hal melakukan tindak pidana :

· Membantu menyembunyikan barang titipan hakim (Pasal 231 ayat (3) KUHP).

· Dokter yang membantu menggugurkan kandungan (Pasal 349 KUHP).

Perlu diketahui bahwa disamping bentuk keturutsertaan diatas itu, KUHP kita masih mengenal 2 bentuk keturutsertaan lainnya, masing-masing:

a. Samenspanning atau permufakatan jahat sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 88 KUHP dan

b. Deelneming aan eene vereniging die tot oogmerk heft het plegen van misdrijven atau keturutsertaan dalam suatu kumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan-kejahatan sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 169 KUHP.

BAB III

ANALISA

3.1. Contoh kasus

Jaksa Penuntut Umum (JPU), menuntut Ihsan (29), satu dari delapan pelaku perampokan ATM di Universitas Bung Hatta, dengan hukuman 12 tahun penjara. Sedangkan Rahmad Syamsurizal (35) bersama istrinya, Eni Erawati (36), hanya dituntut tiga tahun, karena tidak terlibat langsung dalam perampokan yang terjadi 25 September lalu.

Meski dituntut 12 tahun, Ihsan tampak tidak terkejut saat menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Padang, Senin (21/2). Wajahnya tetap tenang. Berlainan dengan Eni, yang langsung menangis mendengar tuntutan JPU. Dia tidak membayangkan nasib anak-anaknya, jika dia dan suaminya masuk penjara.

Dalam tuntutannya, JPU Gusnefi menyebutkan, kalau Ihsan sudah melanggar pasal 365 ayat 2 KUHP, dan pasal 1 ayat 1 Undang-Undang RI nomor 12 tahun 1951 jo pasal 55 ayat 1 KUHP. Terdakwa melakukan perampokan dan memiliki senjata tanpa izin. Ancaman hukuman 12 tahun, setimpal dengan perbuatannya,” jelas Gusnefi. Sementara, Rahmad dan Eni tidak dihukum berat dikarenakan keduanya tidak ikut serta dalam perampokan. Keduanya hanya menikmati hasil perampokan, serta menyediakan tempat bagi perampok untuk berkumpul. JPU menyebutkan, Eni dan Rahmad menerima hasil rampokan senilai Rp10 juta, yang dibelikan perhiasan emas dan uang tunai Rp1,1 juta.

Setelah membacakan tuntutan, ketiganya langsung digiring menuju sel tahanan. Ihsan, Rahmad dan Era, diberikan waktu seminggu untuk menyusun pembelaannya secara tertulis, dan akan dibacakan pada sidang, Senin depan. Bagaimana nasib anak-anak, kalau saya dan uda dipenjara. Mereka mau mengadu sama siapa,? jelas Era sembari menangis.

3.2. Analisis Kasus

Dalam kasus ini, terdakwa Ihsan dikenakan pasal 365 ayat (2) yang berbunyi :

“diancan dengan pidana penjara paling lana dua belas tahun :

1. Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;

2. Jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;

3. Jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu, atau pakaian jabatan palsu;

4. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.

Terdakwa Ihsan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, dilakukan dengan maksud untuk mempermudah dilaksanakannya pencurian. Karena kekerasan yang dia lakukan, menyebabkan timbulnya rasa takut atau cemas pada korban. Sehingga dia dikenakan pasal 365 di atas.[6]

Jaksa penuntut umum juga menuntut terdakwa Ihsan dengan aasal 1 ayat (1) UU RI No. 12 Tahun 1951 yang berbunyi :

”Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.”

Terdakwa Ihsan dikenai pasal tersebut di atas karena dia memiliki senjata api tanpa izin. Sementara itu, dia dikenai pasal 55 ayat (1) karena tindak pidananya ini termasuk dalam kasus penyertaan yang pelakunya lebih dari satu orang, sehingga memenuhi rumusan pasal tersebut.

Kedua terdakwa lain, Rahmad dan Eni, meski tidak terlibat langsung dalam perampokan yang dilakukan terdakwa Ihsan, tapi mereka ikut membantu menyediakan tempat bagi terdakwa Ihsan serta menikmati hasil rampokan. Maka, terdakwa Rahmad dan Eni termasuk dalam istilah medeplegen (turut melakukan) dari pasal 55 ayat (1) KUHP dan memenuhi syarat bekerja sama. Bekerja sama ini terjadi sejak mereka merancang niat untuk bekerja sama untuk melakukan perampokan.[7]


BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Kasus yang melibatkan lebih dari satu orang pelaku disebut penyertaan, dan biasanya terdapat dalam kasus perampokan.

Perampokan adalah pencurian yang diketahui oleh orang lain dan mengancam orang tersebut dengan kekerasan. Pada kasus di atas, pelaku terdiri lebih dari satu orang, dan si pelaku utama mencuri dengan menggunakan kekerasan.

Penyertaan diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP, sedangkan pembantuan diatur dalam pasal 56,57 dan 60 KUHP . Menurut pasal 55 KUHP terdapat 4 yang dapat dikategorikan sebagai pelaku dalam tindakan penyertaan yaitu:

1. Orang yang melakukan (dader)

2. Orang yang menyuruh melakukan (doenpleger)

3. Orang yang turut melakukan (mededader)

4. Orang yang sengaja membujuk (uitlokker)

Untuk setiap orang yang melakukan,menyuruh melakukan,turut melakukan dan sengaja membujuk memperoleh hukuman yang sama. Turut serta memiliki hal yang berbeda dengan pembantuan. Dalam perbuatan turut serta mengikat siapapun yang terlibat dalam tindak pidana tersebut.


[1] Prof. Moeljatno, S.H. Kitab Undang Undang Hukum Pidana Bumi Aksara Jakarta 2003

[2] Drs. P.A.F.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, 1997, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 583-585

[3] Ibid, hlm. 590

[4] Ibid, hlm. 615-633

[5] E.Y. Kanter, S.H., dan S.R. Sianturi, S.H., Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002. hlm 350-359.

[6] Brig. Jen. Pol. Drs. H. A. K. Moch. Anwar, S.H., Hukum Pidana Bagian Khusus, 1982, Alumni, Bandung. hlm.31-35

[7] Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro Tindak Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, 2003, Refika Aditama, Bandung. hlm.23

berikut adalah makalah tentang gugurnya hak penuntutan dalam hukum pidana.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada beberapa kasus yang terjadi di masyarakat, ada istilah “gugurnya hak penuntutan” atau hapusnya hak penuntutan. Sebenarnya bagaimana hal itu bisa terjadi? apakah akibatnya? untuk menjawab pertanyaan – pertanyaan seperti itu, makalah ini dibuat.

Oleh undang – undang ditentukan bahwa hak penuntutan hanya ada pada penuntut umum yaitu jaksa, yang diberi wewenang oleh kitab undnag – undang hukum acara pidana no 8. tahun 1981 (pasal 13 dan 14) di lingkungan peradilan umum dan oditur militer berdasarkan pasal 17 ayat (3) undang – undang no. 1 DRT tahun 1958 di lingkungan peradilan militer.

a) pengertian penuntutan

pengertian penuntutan ditentukan secara otentik di pasal 1 ayat (7) KUHAP yang berbunyi “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menuntut cara yang diatur dalam undang – undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

b) yang bertugas menuntut atau penuntut umum

yang bertugas menuntut atau penuntut umum ditentukan di pasal 13 jo pasal 1 ayat (6) pada dasarnya berbunyi : “penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang – undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”.

c) wewenang atau hak penuntut umum

wewenang penuntut umum ditentukan pada pasal 14 KUHAP. Wewenang jaksa tidak diatur di KUHAP. Harus dicari undang – undang pokok kejaksaan nomor 15 tahun 1961. wewenang penuntut umum yang dicantumkan dalam pasal 14 tersebut tidak kurang dari 10 macam mulai dari menerima berkas penyidikan sampai dengan melaksanakan penetapan hakim. Apabila kesepuluh macam itu adalah wewenang penuntut umum dan penuntut umum yang melakukan penuntutan, maka penafsiran secara tata bahasa wewenang penuntutan yang dimiliki oleh penuntut umum adalah juga yang sepuluh macam itu.

1.2 Identifikasi Masalah

  1. bagaimana bila seorang tersangka meninggal saat masih dalam proses penyidikan, apakah yang terjadi pada penuntutannya?
  2. dalam tindak pidana ekonomi, seperti apa pelaksanaan tuntutannya apabila terdakwa meninggal?

1.3 Teori Penulisan

Teori yang kami gunakan dalam makalah ini menggunakan teori hapusnya hak penuntutan yang terumus dalam kitab undang – undang hukum pidana.

1.4 Kerangka Pemikiran

Menghadapi era keterbukaan dalam bidang perekonomian yang dipengaruhi oleh kebebasan pasar yang juga akan dianut di Indonesia, kiranya perlu dipikirkan perlindungan atas perekonomian di Indonesia. termasuk gejolak mata uang yang sempat melanda perekonomian di Indonesia. Apabila terjadi tindak pidana perekonomian, banyak orang berpendapat semata – mata kesalahan pemerintah yang kurang bijaksana dalam melakukan kebijakan di bidang perekonomian.

Dalam hubungannya dengan penuntutan terhadap terdakwa tindak pidana ekonomi, apabila terdapat alasan – alasan yang menggugurkan hak menuntut hukuman maka hal itu dapat dibedakan dengan ketentuan yang terdapat di tindak pidana biasa.

1.5 Metode Penulisan

Metode penulisan menggunakan metode kualitatif yang mementingkan kualitas dari suatu makalah. Sumber data menggunakan sumber data sekunder yaitu data yang diambil dari berbagai sumber bacaan atau sumber kepustakaan lainnya.

1.6. Kesimpulan Latar Belakang

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Alasan – alasan gugurnya hak menuntut dan gugurnya hukuman

Sebagai alasan – alasan gugurnya hak menuntut hukuman ditentukan: [1]

a. kracht van gewisjde zaak (mutlaknya perkara yang telah terputus) pasal 76.

b. Matinya terdakwa, pasal 77

c. Lewat waktu (verjaring), pasal 78 – 80

d. Penyelesaian di luar pengadilan (afdoening buiten proces) pasal 82

Alasan – alasan gugurnya menjalani hukuman adalah

a) matinya terhukum, pasal 83

b) lewat waktu, pasal 84 – 85

dahulu itu, alasan – alasan tersebut dianggap alasan gugurnya wewenang melaksanakan hak menuntut hukuman dan gugurnya wewenang melaksanakan hukuman, sedangkan pada zaman sekarang alasan – alasan tersebut dilihat sebagai alasan gugurnya hak menuntut hukuman dan gugurnya hukuman itu sendiri.[2]

Di luar KUHP, masih ada beberapa alasan yaitu[3]:

a) grasi – menggugurkan menjalani hukuman atau sebagian hukuman

Sifat grasi sekarang telah berbeda dari sifatnya semula. Pada permulaan, pada zaman kerajaan-kerajaan absolut di Eropa, grasi itu merupakan suatu anugrah raja, yaitu anugerah raja yang telah sudi mengampuni yang terhukum. Tetapi di negara modern, sesudah diadakannya badan-badan pengadilan yang berdiri tersendirinya badan-badan pengadilan ini diperkuat oleh ajaran trias politica – dan tiada lagi kemungkinan bagi badan eksekutif untuk secara langsung memperngaruhi peradilan, maka grasi itu lebih bersifat satu koreksi atas keputusan hakim, yaitu satu koreksi yang diadakan berdasarkan alasan-alasan yang diketahui sesudah hakim memutuskan perkara yang bersangkutan. Sebagai alasan diberinya grasi dapat disebut antara lain:

  1. Kepentingan keluarga dari yang terhukum
  2. Yang terhukum pernah sangat berjasa bagi masyarakat
  3. Yang terhukum menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan
  4. Yang terhukum berkelakuan baik dipenjara da memperlihatkan keinsyafan atas kesalahannya.

Asas utama Undang-undang Grasi ini adalah:

  1. Atas hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman yang tidak dapat diubah lagi, orang yang dihukum atau pihak lain dapat memajukan permohonan grasi kepada Presiden” – pasal 1. jadi, atas tiap-tiap hukuman dan oleh tiap-tiap yang terhukum dapat diajukan permohonan grasi kepada Presiden.
  2. Keputusan hakim telah tidak dapat diubah lagi, yaitu telah inkracht van gewijsde.
  3. Bukan hanya yang terhukum saja yang dapat memohon grasi, tetapi juga pihak lain, yaitu pihak ketiga, asal dengan permohonan grasi yang diajukan oleh pihak ketiga ini (pasal 6 ayat 4). Syarat tersebut terakhir ini tidak perlu dipenuhi apabila permohonan grasi itu diajukan karena jabatan
  4. Terkecuali permohonan grasi atas hukuman denda (pasal 4 ayat 1), maka tiap-tiap permohonan grasi menunda eksekusi (pelaksanaan) hukuman atau mempertangguhkannya apabila telah dimulai.
  5. Permohonan grasi harus dimajukan kepasa Panitera pengadilan yang memutus pada tingkat pertama, atau jika permohonan bertembat tinggal diluar daerah hukum perngadilan yang berkepentingan atau jika Panitera pengadilan tidak ada ditempatnya, maka pemohon dapat memajukan permohonannya kepada pembesar daerahnya (pasal 6 ayat 1)
  6. Grasi tidak akan diberi apabila sebelumnya tidak didengar pertimbangann dari beberapa instansi yang penting dan yang bersangkutan

b) abolisi – menggugurkan hak menuntut hukuman

Perundang-undangan mengenai abolisi tidak menjelaskan bagaimana definisi tentang abolisi. Yang biasanya dimaksud dengan abolisi itu adalah meniadakan wewenang dari Penuntut umum untuk menuntut hukuman.Abolisi itu diberi oleh Presiden atas kepentingan negara.Pemberian abolisi itu diputuskan oleh Presiden sesudah mendapat nasehat Mahkamah Agung (pasal 1).

c) amnesti – menggugurkan baik hak menuntut hukuman maupun menjalani hukuman

Perundang-undangan mengenai amnesti juga tidak menjelaskan definisi tentang amnesti. Biasananya ambesti adalah wewenang yang lebih luas lagi, yaitu manesti tidak hanya meniadakan wewenang untuk menuntut hukuman tetapi pula wewenang untuk menuntut hukuman tetapi pula wewenang untuk mengeksekusi hukuman, baik dalam hal eksekusi itu belum dimulai maupun dalam hal eksekusi itu telah dimulai. Amnesti itu diberi oleh Presiden atas kepentingan negara.

2.2 Ne bis In Idem

Kracht van gewijsde zaak tidak sama dengan inkracht van gewijsde. Keputusan hakim adalah inkracht van gewijsde apabila keputusan itu tidak lagi dapat dibantah dengan memakai satu alat hukum biasa (seperti verzet, bandingan atau kasasi). Tetapi suatu keputusan hakim yang inkracht van gewijsde belum tentu merupakan kracht van gewijsde zaak, yaitu apabila tentang zaak (perbuatan) sendiri oleh hakim masih belum dibuat satu keputusan.

Yang dimaksud dengan kracht van gewijsde zaak adalah asas ne bis in idem, yaitu orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya karena satu perbuatan (feit) yang telah dilakukannya dan terhadap perbuatan itu telah dijatuhkan keputusan hakim yang tidak lagi dapat diubah atau ditiadakan. Jonkers menyebutkan tiga macam keputusan hakim yang memutuskan tentang perbuatan sendiri, yaitu :

a) penghukuman (veroordeling) – hakim memutuskan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang menjadi tuduhan terhadapnya serta terdakwa bersalah karena melakukannya.

b) Pembebasan dari penuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging) – hakim memutuskan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang menjadi tuduhan terhadapnya tetapi terdakwa, yaitu pembuat (dader), tidak dapat dijatuhi hukuman karena alasan – alasan yang mengecualikan dijatuhkan hukuman (strafuitsluitingsgronden) atau perbuatan yang menjadi tuduhan, seperti yang dicantumkan dalam pendakwaan, tidak dapat hukum.

c) Pembebasan (keputusan bebas, vrijspraak) – hakim memutuskan bahwa kesalahan terdakwa atas perbuatan yang menjadi tuduhan tidak terbukti. Perlu ditegaskan bahwa pembebasan itu mempunyai sifat negatif, yaitu pembebasan tidak menyatakan bahwa terdakwa atas melakukan perbuatan itu tidak terbukti. Mungkin sekali terdakwa memang melakukan perbuatan itu tapi dalam sidang di muka hakim hal itu tidak dapat dibuktikan.

Apabila dibuat satu keputusan hakim seperti salah satu di atas, maka berlaku asas ne bis in idem. Asas ne bis in idem tidak hanya terdapat dalam buku hukum pidana tapi juga dalam hukum privat. Rasio asas ini;

  1. tiap perkara harus diselesaikan secara definitif. Pada saat tertentu penyelidikan fakta – fakta dan menjalankan undang – undang pidana berhubung dengan adanya fakta – fakta itu harus berakhir. Negara harus membuat satu keputusan akhir yang tidak dapat diubah. Sikap yang bertele – tele tidak dapat menyelesaikan satu perkara dengan membuat keputusan yang definitif, sangat merugikan kewibawaan negara sendiri; dan
  2. tujuan tiap peraturan hukum adalah memberi kepastian hukum sebesar – besarnya bagi individu dan masyarakat. Individu tidak akan merasa aman selama pemerintah masih dapat mengadakan tuntutan hukum terhadapnya, sedangkan beberapa golongan tertentu dalam masyarakat merasa gelisah selama belum ada kepastian tentang nasib individu yang menjadi anggota salah satu di antara beberapa golongan itu.

Syarat – syarat agar suatu perkara tidak dapat diperiksa kedua kalinya adalah:[4]

a) perbuatan yang didakwakan (untuk kedua kalinya) adalah sama (dengan yang didakwakan terdahulu).

b) Pelaku yang didakwa (untuk kedua kalinya) adalah sama.

c) Untuk putusan yang pertama terhadap tindakan yang sama itu, telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Ayat (2) pasal 76 membatasi ketentuan ne bis in idem apabila putusan yang sudah mempunyai kekuatan tetap itu berasal dari hakim yang bukan hakim Indonesia. Dalam hal ini ne bis in idem hanya diterapkan apabila;

Ke-1 : putusan itu berupa pembebasan dari dakwaan (vrijspraak) atau pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging);

Ke-2 : putusan itu berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau untuk pemidanaan itu iua beroleh grasi, atau pelaksanaan pidana tersebut telah daluwarsa.

2.3 Penyelesaian di luar sidang / transaksi

Penghapusan hak penuntutan bagi penuntut umum yang diatur dalam pasal 82 mirip dengan ketentuan hukum perdata mengenai transaksi atau perjanjian. Di satu pihak penyidik atau penuntut umum dan pihak lainnya tersangka merupakan pihak – pihak yang sederajat terhadap hukum. Dalam perjanjian ini penuntut umum wajib menghentikan usaha penuntutannya (bahkan haknya untuk menuntut dihapuskan), dan sebagai imbalannya tersangka wajib membayar maksimum denda yang hanya satu – satunya diancamkan, ditambah dengan biaya penuntutan apabila usaha penuntutan sudah dimulai.

Pembayaran harus dilakukan kepada penuntut umum dalam waktu yang telah ditetapkan oleh penuntut umum tersebut. Kiranya tidak dapat dipungkiri bahwa acara ini berasal dari hukum perdata, seperti halnya: “kebolehan pihak – pihak menyelesaikan suatu delik aduan“. Jelas bahwa cara ini bertentangan dengan sifat hukum pidana yang merupakan bagian dari hukum publik. Namun demikian, dalam perkara – perkara kecil (dalam hal ini pelanggaran hanya diancam dengan pidana denda saja) sifat hukum publik itu perlu disimpangi untuk mempermudah dan mempercepat acara penyelesaiannya.

Dalam penerapan pasal 82 penuntut umum wajib menyelesaikan perkara tersebut di luar sidang apabila tersangka dengan sukarela memenuhi ketentuan – ketentuan dalam pasal 82 tersebut. Karena dengan pernyataan tersangka akan membayar maksimum denda pada waktu dan tempat yang ditentukan oleh penuntut umum / pejabat yang berwenang, hak penuntutan penuntut umum telah hapus. Apabila pernyataan sukarela itu tidak dipenuhi dalam waktu dan pada tempat yang ditentukan, jika perlu dengan perpanjangan waktu satu kali, barulah timbul kembali hak penuntutan penuntut umum.[5]

BAB III

ANALISIS

3.1 Tersangka meninggal saat proses penyidikan

Apabila tersangka meninggal saat proses penyidikan masih berlangsung, maka sesuai dengan pasal 109 ayat (2) KUHAP, penyidikan akan dihentikan demi hukum dengan mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan kepada Penuntut Umum dan keluarga almarhum.[6] Apabila kematian tersangka pada ketika perkara telah dilimpahkan oleh penyidik pada penuntut umum tapi belum dilimpahkan oleh penuntut umum ke pengadilan atau belum dilakukan penuntutan ke pengadilan, maka jaksa penuntut umum akan ’menutup perkara demi hukum’, sesuai dengan pasal 102 ayat (2) KUHAP. Penutupan perkara akan dilakukan dengan mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penutupan Perkara ke Penyidik dan keluarga almarhum.

3.2 Terdakwa tindak pidana ekonomi

Istilah tindak pidana ekonomi lebih diartikan sebagai tindak pidana yang termuat dalam UU No. 7/DRT/1955. lebih dikenal penyelundupan sebagai tindak pidana ekonomi. [7]

Tindak pidana ekonomi yang termuat dalam undang – undang no 7 drt 1955, dalam teori dikenal sebagai tindak ekonomi dalam arti sempit. Sedangkan tindak pidana ekonomi dalam arti luas adalah seluruh tindak pidana di bidang perekonomian di luar undang – undang tersebut. Yakni ketentuan dalam perundang – undangan non hukum pidana di bidang perekonomian yang memuat aturan pidana di dalamnya.

Pasal 1 ayat (1) sub a dan b undang – undang no. 3 tahun 1971 menyatakan bahwa yang dirugikan dalam tindak pidana ekonomi adalah keuangan atau perekonomian Negara. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan mereka yang memperkaya diri dengan merugikan keuangan atau perekonomian negara bukan saja dianggap telah melakukan korupsi akan tetapi juga telah melakukan tindak pidana ekonomi dalam arti luas.[8]

Pasal 77 menentukan bahwa ”kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia”. Ketentuan ini berlatar belakang pada sifat pribadi dari pertanggungjawaban pidana dan pembahasan dari suatu pidana, dan dengan demikian tidak diperlukannya lagi pidana bagi orang yang sudah meninggal. Bila si pembuat meninggal dunia sebelum pidana dijatuhkan tidak diperlukan tindakan penuntutan untuk pada akhirnya menjatuhkan pidana terhadapnya, karena bila dijatuhkan pidana pun tidak ada manfaatnya. Walaupun sesungguhnya dari sudut yang lain, ada juga manfaatnya bagi almarhum terdakwa agar penuntutan tetap dilanjutkan yaitu dalam hal apabila terdakwa tersebut memang tidak melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, yang apabila majelis hakim tidak melakukan kesalahan pada akhirnya ia akan diputus pembebasan. [9]

Tetapi untuk tindak pidana ekonomi ( undang – undang no.7 Drt tahun 1955), ketentuan pasal 77 itu disimpangi pasal 16 ayat (1) undang – undang tindak pidana ekonomi ini merumuskan:

”jika ada cukup alasan untuk menduga, bahwa seseorang yang meninggal dunia, sebelum atau perkaranya ada putusan yang tak dapat diubah lagi, telah melakukan tindak pidana ekonomi maka hakim atas tuntutan penuntut umum dengan putusan pengadilan dapat:

a) memutus perampasan barang – barang yang telah disita. Dalam hal itu pasal 10 undang – undang darurat ini berlaku sepadan;

b) memutus bahwa tindakan tata tertib yang disebut pada pasal 8 sub c dan dilakukan dengan memberatkannya pada harta orang yang meninggal dunia itu.”

tindakan tata tertib yang disebut pada pasal 8 sub c ialah berupa:

”mewajibkan membayar sejumlah uang sebagai pencabutkan keuntungan menurut taksiran, yang diperoleh dari suatu tindak pidana atau dari tindak pidana – tindak pidana semacam itu dalam hal cukup bukti – bukti dilakukan oleh si terhukum.”

Ketika hukum acara pidana dalam HIR masih berlaku, terdapat ketentuan (pasal 367) yang mengecualikan ketentuan pasal 77 KUHP artinya dengan meninggalnya terdakwa tidak menyebabkan hapusnya kewenangan negara untuk menuntut pidana yakni dalam hal menuntut denda atau perampasan barang – barang tertentu dalam perkara pidana mengenai penghasilan negara dan cukai dimana tuntutan dapat dilakukan kepada ahli warisnya atau wakilnya. Pemeriksaan dan pemutusan perkara terhadap ahli waris almarhum terdakwa atau wakilnya ini, dan demikian juga dalam hal juga menjalankan putusannya dilakukan menurut acara peradilan perkara perdata. Ketentuan dalam pasal 367 HIR ini tidak ditemukan dalam KUHAP sekarang.

BAB IV

PENUTUP


[1] E. Utrecht, Hukum Pidana, Bandung, PT Penerbitan Universitas, 1958, hlm. 214

[2] Ibid, hlm. 215

[3] Ibid, hlm. 251-256

[4] E. Y. Kanter, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta, Storia Grafika, 2002. hlm. 431 – 432

[5].Ibid, Hlm. 433

[6] Adami Chazawi, Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan, dan Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan, dan Ajaran Kausalitas Bagian 2, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005. hlm. 173

[7] Loebby Loqman, Kapita Selekta Tindak Pidana di Bidang Perekonomian, Jakarta, Datacom, 2002. hlm. 2

[8] Ibid, hlm. 4

[9] Adami Chazawi, Op.cit., hlm. 169-170